Tahun 2018 sebentar lagi akan kita lalui, dan 2019 sudah ada di gerbang pintu, tulisan ini dimulai 21.18 dimana sebagian kota besar di dunia sudah memasuki tahun 2019 seperti kota Sydney di Australia dan beberapa kota lainnya. Tahun baru pasti akan meninggalkan tahun yang lama, seperti kebiasaan pada umumnya sebagian besar masyarakat kita akan merayakan tahun baru baik di rumah, hotel, tempat wisata dan sebagainya. Namun sebenarnya yang perlu kita perhatikan dalam setiap perjalanan waktu baik itu hari. bulan bahkan tahun adalah apa yang sudah kita perbuat, apa yang bisa kita perbaiki dan apa yang akan kita lakukan di tahun yang mendatang.
Tahun 2018 meninggalkan banyak suka duka layakanya perjalanan hidup manusia yang akan selalu berputar. 2018 bagi Indonesia yang harus kita renungkan adalah banyaknya bencana yang datang di negeri ini. Gempa bumi di Lombok, tsunami dan gempa bumi di Palu, tsunami Selat Sunda, jatunya JT 610 dan masih banyak bencana lainnya lagi. Bencana memang merupakan kehendak yang Maha Kuasa, tiada satupun orang yang bisa menghalanginya. Tapi dibalik itu semua bencana bisa berarti sebuah ujian, teguran ataupun hukuman bagi kita semua.
Indonesia memang dikelilingi ring of fire salah satu wilayah kepulauan paling berbahaya di dunia. Hampir setiap jengkal tanah di republik ini siap berguncang dimanapun berada. Sebenarnya nenek moyang kita sudah memikirkan masalah ini sejak dulu kala. Terbukti dengan desain bangunan tradisional di masing masing daerah. Rumah di aceh desain dengan rumah panggung yang berasal dari kayu dimana saat ada getaran gempa atau bahkan tsunami tentu akan lebih bisa bertahan dibandingkan rumah modern yang tanpa kaki-kaki bahkan terkadang dibangun tanpa desain yang kokoh. Rumah adat di daerah lombok, papua pun sama, Logika sederhana saya dengan bangunan seperti itu akan lebih meminimalkan korban jiwa dibandingkan dengan bangunan dari beton.
Pelajaran sederhana ini sebenarnya mungkin bisa memperkuat bahwa negeri ini sudah akrab dengan bencana sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Sayangnya pelajaran tentang kebencanaan di negeri ini masih kurang. Saya sendiri yang bersekolah dasar di tahun 90-an dan sekolah menengah serta pendidikan tinggi di tahun 2000-an belum pernah mendapatkan materi kebencanaan ini, tentu hal ini berbeda dengan saudara jauh kita di Jepang yang kebetulan juga memiliki riwayat kebencanaan dan resiko bencana yang hampir sama dengan kita karena terletak di cincin api Pasifik. Jepang sudah mengajarkan tentang bencana sejak dini bahkan sejak sekolah dasar, sistem bencana disana juga sudah selangkah lebih maju dimana saat terjadi gempa maka pemerintah akan mengirimkan notifikasi berupa sms email untuk memastikan apakah warganya selamat.
Tsunami di Indonesia menurut NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) sebuah lembaga sains di US mencatat tsunami pertama yang tercatat di Indonesia ada di Laut Jawa pada tahun 416, namun tidak ada data mengenai ketinggian tsunami dan korban jiwa saat itu. Tsunami terus terjadi dan yang paling terkenal disaat dunia beranjak ke modernisasi adalah tsunami akibat letusan gunung Krakatau tahun 1883 dimana air laut naik setinggi 41 meter dan menelan korban jiwa hingga 36.000. Gempa dan tsunami terbesar yang menerpa Indonesia adalah 26 Desember 2004 di Aceh dan pesisir barat Sumatra dimana lebih dari 200.000 orang yang meninggal. Kini di tahun 2018 tsunami kembali menerpa Indonesia. Korban jiwa masih tetap berjumlah ribuan. Bahkan tsunami selat Sunda di akhir bulan Desember ini adalah salah satu tsunami yang sangat langka dan jarang terjadi. Disinilah kadang manusia harus selalu siap bahwa bencana bisa saja terjadi tanpa peringatan, tanpa ada persiapan apapun. Sehingga tahun 2018 apakah tahun bencana bagi Indonesia? mungkin tidak, mungkin juga iya, karena negeri ini sudah akrab dengan bencana sejak republik ini belum berdiri. Kita sebagai manusia haruslah selalu memperbaiki diri, menjaga alam, dan tentunya harus selalu siap karena dimanapun bencana tetap mengancam kita semua.
_Kediri_31122018_