Prosedur Kegawat-Daruratan dan Naluri Bangsa
(Sebuah Pandangan Sederhana untuk Indonesiaku)
Kita hidup di bumi Indonesia yang penuh dengan nilai nilai luhur. Salah satu nilai yang sungguh baik adalah budaya untuk saling menolong. Kita sudah terbiasa diajarkan sejak kecil bahwa jika ada orang lain yang jatuh di depan kita, sebaiknya kita tolong. Saya masih ingat betul bahwa nilai nilai ini sudah ditanamkan sejak jaman kita SD atau bahkan TK. Dulu ada pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) atau sekarang berubah menjadi PPKN (atau sudah berubah lagi?). Saya juga masih ingat tentang soal soal yang jawabannya selalu tolong menolong, saling menolong, dsb.
Kemajuan jaman mau tidak mau mengubah pola pikir dan tatanan kehidupan. Saya dulu pernah ikut PMR, meski jujur saya bukan anggota yang rajin, mungkin termasuk malas. Tapi ada satu hal yang sampai saat ini selalu saya kenang. Saat PMR jaman SMP (SLTP) dulu ada ujian untuk kartu anggota PMR. Nah untuk apa kartu anggota PMR ini? Sekali lagi seingat saya (karena memori ini sudah hampir 15 tahun lalu) digunakan jika sewaktu waktu kamu menolong orang kemudian orang itu meninggal tak masalah, karena kamu sudah punya kartu ini. Kartu ini bukti kamu mampu dan bisa. Sejenak saya jujur jadi merasa takut, wah serem juga ya, tapi bukan itu maksudnya. Maksudnya bahwa kalian sudah bisa dan mampu melakukan pertolongan dengan baik dan lakukanlah yang terbaik, masa iya anak SMP mau menolong orang kemudian terjadi apa apa mau disalahkan? saya rasa tidak, sekali lagi kita masih punya nurani.
Kita pun diajarkan bahwa dalam prinsip prinsip menolong ada singkatan "PATUT" (Mohon koreksi dari yang berkompeten dibidang PMI atau PMR), P yang pertama adalah penolong mengamankan dirinya sendiri. Baru, yang lain lain. Masuk diakal juga ketika ada bencana bagaimana jika kita tidak bisa menyelamatkan diri sendiri mau menolong orang lain.
Semakin kita maju dan tatanan semakin baik, ada satu yang jika boleh saya bilang cukup disayangkan. Perlindungan bagi penolong kegawatdaruatan semakin minim. Perlu kita ketahui orang dalam kondisi gawat darurat harusnya mendapatkan pertolongan dalam hitungan detik, menit, dan tiap waktu yang berputar sungguh berharga. Saya pernah baca karena prosedur yang sedemikian ini di negeri Amerika Serikat sana, sudah jarang orang yang mau menolong kecelakaan di jalanan jika bukan tenaga yang benar benar ahli dan mendapat ijin. Sekali lagi karena masalah prosedur dan jaminan hukum bagi penolong. Mungkin bagi negeri yang sangat maju tidaklah masalah, anda tinggal telepon dan dalam hitungan menit team penolong lengkap dengan alat alat canggih tiba, lalu lintas lancar, dan banyak kemudahan fasilitas disana. Bagaimana dengan kita, Indonesia? Apa iya kita mau menyia-nyiakan korban harus meninggal di jalanan hanya karena prosedur yang begitu ketat dan sulitnya. Padahal saya tahu nurani saya, anda, kita semua, ingin menolong, meski hanya pertolongan sederhana.
Apakah ini tidak berlebihan asumsi ini? Saya rasa tidak, karena pada prinsipnya gawat darurat adalah gawat darurat, tak peduli di UGD, di jalan, di restoran, bandara, dsb. Sekali lagi hal ini mungkin benar hanya menjadi ketakutan bagi sebagian orang yang paham akan rumitnya prosedur, baik ahli hukum, tenaga kesehatan atau orang orang yang tahu akan seperti apa nanti resiko ketika menolong. Kegawatdaruratan adalah soal life saving, death or alive, waktu yang sekian menit hilang akan membunuh sekian banyak nyawa. Prosedur, persetujuan memang benar itu perlu, tapi bagaimana andaikan kita sedang jatuh di jalan, dan kita berkendara sendirian? Sementara tidak ada keluarga atau orang yang kenal kita? Apakah kita akan merelakan diri kita meninggal di jalanan hanya karena ketakutan masyarakat atau orang yang paham tentang pertolongan darurat akan hukuman? Sementara jelas kita tidak bisa tanda tangan atau menulis di selembar kertas, karena kita sedang menjadi korban.
Perspektif ini punya dampak yang luar biasa. Ada sebuah opini yang pernah saya kirim di sebuah surat kabar meski akhirnya ditolak. Opini tersebut tentang AED (alat defibrilator jantung otomatis) di tempat umum. AED banyak ditemukan di tempat umum di negara maju sana, kita mungkin masih terbatas hanya di bandara. Tulisan saya waktu itu bekaitan dengan keprihatian akan banyaknya korban serangan jantung yang harus meninggal di tempat umum, sebelum mendapatkan pertolongan. Jadi mudahnya AED adalah alat yang sangat penting untuk memberikan pertolongan pertama pada penderita dengan serangan jantung. Kita tahu bersama prosedur ini mungkin memang benar sudah seperti prosedur medis, namun alat ini sesungguhnya diciptakan untuk orang yang bukan tenaga kesehatan saja, dalam artian masyarakat umum siapapun. Kita sudah sangat paham bahwa penderita serangan jantung punya resiko kematian yang sangat besar, bahkan meskipun sudah ditolong dengan alat AED ini. Apakah iya kita harus memintai persetujuan orang yang sudah antara hidup dan mati ini pada secarik kertas? Mimpi saya agar AED bisa ada di tempat umum, dan angka kematian akibat serangan jantung di tempat umum di Indonesia menurun bisa pupus sudah.
Ada kalanya kita berada pada sebuah kondisi yang sulit, tapi kita juga harus paham bahwa kita punya nurani. Bangsa ini punya budaya yang sunguh luhur, budaya saling tolong menolong. Saya ingin Indonesia maju, tapi tetap dengan nilai nilai luhur. Karena itu menjadi nilai lebih bagi kita, buat apa kita maju, tapi kita biarkan orang orang yang jatuh di depan kita pada jaman nenek moyang kita dulu selamat, tapi justru di depan kita karena sulitnya prosedur mereka justru mati di depan kita pada jaman yang modern ini.
Tulisan ini hanya sebuah perspektif pribadi, yang mungkin berlebihan. Tapi jujur saya mulai merasa khawatir bahwa nilai ini akan benar benar hilang kedepannya. Ketika orang yang paham akan rumitnya prosedur, sudah takut akan resiko pada dirinya, maka perlahan masyarakat umum akan ikut. Dan jangan sampai orang tercinta kita harus mati karena prosedur yang kita buat sulit sendiri.
Sekali lagi, Mohon Maaf Jika ada Salah Kata, Kebenaran yang Sesungguhnya Hanya Milik Allah..
Mohon koreksi, karena tulisan ini banyak yang berkaitan dengan memori beberapa tahun lalu.
Akhir kata, Maju Terus Indonesiaku dan Tetap Berbudi Luhur..